Thursday, December 26, 2013

Di Balik Konflik Lewonara-Lewobunga: Pagi Perang, Siang Istirahat (1)

POS KUPANG.COM -- Minggu, 28 Oktober 2012 22:52 WITA.
POS KUPANG/YSARIFAH SIFAH
DIALOG--Bupati Flotim, Yoseph Lagadoni Herin, berdialog dengan warga Lewobunga di Balai Desa Lewobunga, Rabu (24/10/2012)
Hampir belasan tahun tidak terdengar lagi perang tanding merebut tanah di Pulau Adonara-Flores Timur setelah  perang Tobi- Lewokeleng. Kini, perang tanding itu  kembali pecah. Ada apa?


CATAT tanggal ini, 2 Oktober 2012.  Merupakan hari 'bersejarah' bagi masyarakat Desa Lewonara dan Lewobunga, Kecamatan Adonara Timur. Dua desa dalam satu kecamatan ini  menabuh permusuhan yang menewaskan satu orang, melukai empat orang putra Adonara dan menghancurkan rumah-rumah warga.

Kedua desa itu bersengketa merebut lahan seluas 15 hektar yang kini telah dibangun transmigrasi lokal bagi masyarakat Desa Lewobunga, juga perumahan milik warga Lewobunga. Selain itu, sejumlah fasilitas pemerintah seperti sekolah di lahan tersebut.

Pemerintah juga hendak membangun pasar hewan, rumah sakit dan sejumlah fasilitas lainnya. Namun, rencana pemerintah itu menuai konflik di antara dua desa tersebut. Masing-masing desa mengklaim tanah itu adalah milik mereka. Memang, tanah di sekitar Dusun Bele, Desa Waiburak, termasuk di Dusun Riangbunga dan sekitarnya memiliki nilai ekonomis. Hampir semua pelaku usaha membidik tanah-tanah di lokasi yang kini menjadi wilayah konflik.

Padahal, sudah puluhan tahun tidak ada konflik antara Lewobunga-Lewonara. Namun konflik itu baru terjadi setelah Pemerintah Kabupaten Flores Timur (Flotim) hendak meresmikan translok sebagai daerah pemukiman warga Lewobunga yang berlokasi di Riangbunga.

Pada 25 Juli 2012 adalah awal dimulainya perang tanding itu. Pada saat itu pemerintah melalui Bupati Flotim, Yoseph Lagadoni Herin, diundang untuk meresmikan lokasi translok.  Menurut warga Desa Lewobunga, lokasi tersebut milik mereka. Karena itu, panitia melakukan negosiasi bersama pihak protokoler pemerintah untuk memastikan bupati berangkat ke Adonara.

Namun, sebelum berangkat, pihak Lewonara keberatan. Atas keberatan itu, bupati kemudian melakukan rapat bersama Wakil Bupati Flotim, Valentinus Sama Tukan; Sekda Flotim, Anton Tonce Matutina; Asisten II dan sejumlah pejabat lainnya. Akhirnya memutuskan Bupati Flotim, Yoseph Lagadoni, berangkat ke Adonara untuk meresmikan pemukiman translok itu.

Namun saat bupati tiba di Adonara situasi memanas. Warga Lewonara turun ke lokasi permukiman dan mengejar camat, kapolsek beserta petugas pemerintahan yang berada di lapangan yang sedang melakukan negosiasi dengan parang, golok, tombak dan peralatan perang lainnya. Bahkan, sebagian menghadang bupati di Kantor Camat Waiwerang.


Karena kondisi tersebut akhirnya bupati batal meresmikan translok. Bupati kemudian dikawal ketat kembali ke Larantuka. Masyarakat Lewonara pun mengancam pemerintah untuk tidak lagi melakukan peresmian terhadap lokasi permukiman translok dan menuntut warga Lewobunga meninggalkan lokasi konflik dan kembali ke asalnya di Desa Lewobunga.

Tuntutan warga Lewonara itu kemudian dibahas dalam rapat, baik di tingkat muspida maupun para pejabat eselon II di lingkup Pemerintahan Kabupaten Flotim.  Bahkan, Bupati Flotim, Yoseph Lagadoni Herin, sebelum perang meletus 2 Oktober 2012, sudah dua kali bertemu langsung dengan tokoh-tokoh masyarakat Koli Lewopulo pada 1 Agustus dan dengan tokoh-tokoh Lewonara pada 21 September.

Saat itu disepakati akan ada tim independden untuk memfasilitas tuntutan warga Lewonara yang menuntut agar warga Lewobunga mengosongkan lahan sengketa dan kembali ke kampung halaman asalnya. Namun perang tetap pecah sehingga menimbulkan korban jiwa dan harta sebelum tim turun ke lapangan.

Bagi  sebagian besar warga pegunungan, perang tanding di Adonara tidak dipahami sebagai sebuah bentuk kekerasan atau kekejaman bunuh membunuh semata. Tetapi sebagai sebuah hal mistis religius yang menjadi perintah dari sebuah wujud tertinggi, Rera Wulang (Tuhan). Perang tanding sesungguhnya mempunyai dimensi mistis religius menyangkut kebenaran hakiki mureng (benar), nalang (salah), medhong (baik), melang (buruk), ata raeng-titeng (kepemilikan) yang terpaut langsung dengan Rera Wulang.

Perang tanding bagi sebagian orang diterima sebagai sebuah ritual mistis religius untuk mencari kebenaran hakiki yang disebut koda. Koda adalah inti dari sebuah keyakinan atas nilai kebenaran yang diperjuangkan.

Koda mureng deino, koda nalang gokano. Artinya, jika moe (Anda) benar, Anda tetap tegak berdiri. Apabila moe (Anda) salah, moe harus jatuh. Atau koda mureng tobu lewum, koda nalang pekeng lewum. Artinya, jika Anda benar, Anda tetap menghuni kampung Anda. Jika Anda kalah, keluarlah dari kampung Anda sendiri.

Dalam hal ini perang tanding diyakini sebagai suatu proses budaya, di mana setiap orang dapat menemukan jati diri dan kehormatannya dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan. Pandangan ini membuat orang Adonara sangat menjaga eksistensinya dan tidak melakukan pembunuhan segampang orang membalikkan telapak tangan.

Uniknya, dalam setiap perang tanding ada sportivitas. Masing-masing orang yang berhadapan secara kejam dan ingin membunuh, tidak menyimpan dendam. Oleh karena dendam dan permusuhan hanya berada pada pihak-pihak yang bersengketa.

Ada tradisi yang dihormati bersama, pagi perang, siang istirahat, sore perang lagi. Namun perang tanding ini menurut sebagian orang modern, tidak perlu lagi karena perang adalah kekerasan. Perang selalu berakhir derita dan menyisakan kesulitan bagi banyak pihak, sebagaimana pernyataan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya.

"Orang Adonara dulunya dikenal seperti ini (perang, Red), tapi sekarang sudah lebih maju. Orang Adonara terkenal karena anaknya yang gubernur," kata Frans Lebu Raya ketika berada di wilayah konflik. (syarifah sifah/bersambung)
Editor: alfred_dama
Sumber: Pos Kupang

Di Balik Konflik Lewonara-Lewobunga: Beny Goreskan Nadi Tangannya (2)

POS KUPANG.COM -- Sebelum hari penentuan perang, Senin (1/10/2012), sebagaimana kesepakatan lokal dua desa yang berperang, Lewobunga dan Lewonara, pemerintah sudah memobilisasi aparat  keamanan  dari Kepolisian Resor (Polres) Flores Timur (Flotim), Komando Distrik Militer (Kodim) 1624 Flotim, dan Bawah Kendali Operasi (BKO) Brigadir Mobil Kepolisian Daerah (Brimob Polda) NTT di Sikka. Sekitar 100 lebih personel siap mengamankan wilayah konflik di Dusun Bele, Desa Waiburak dan sekitarnya.

Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Flotim, AKBP Wahyu Prihatmaka, Dandim Flotim, Letkol (Inf) HR Beny Arifin masing-masing menjaga pasukan dan terus membangun negosiasi agar perang tidak terjadi.

Meredam situasi memang sulit, namun terus dibangun. Dan, akhirnya Senin (1/10/2012), hari yang ditentukan sebagai hari 'membunuh' gagal. Namun, hari Selasa (2/10/2012), situasi tidak bisa terkendali dan akhirnya dua orang warga Lewobunga menjadi korban. Keduanya terkena panah, satu di pinggul dan satunya persis di mulut.

Dandim Flotim, Letkol Beny, merasa gagal. Situasi terus memanas. Ia terus mencari jalan keluar agar perang dihentikan. Akhirnya, ia membangun negosiasi dengan  kedua belah pihak.

Pihak Lewonara meminta jaminan, perang bisa dihentikan asalkan tuntutan pihak Lewonara dikabulkan dengan mengembalikan warga Lewobunga yang menghuni translok di Riangbunga ke desa asalnya.

Dandim Beny mengiyakan dan meminta waktu untuk membangun komunikasi itu bersama pemerintah daerah mencari solusi. Namun,  pihak Lewonara masih belum yakin, sehingga Letkol Beny pun akhirnya menggoreskan nadi tangannya dengan pisau sehingga keluar darah sebagai jaminan untuk negosiasi.

Kondisi itu sempat menghentikan perang di pagi hari. Namun, Rabu (3/10/2012) sore, perang kembali pecah dengan korban anggota Kodim 1624 Flotim, Sersan Dua (Serda) Johanis Kesnai.  Pihak Lewonara belum melihat keseriusan pemerintah, dan akhirnya perang terus berlanjut pada Kamis (4/10/2012) sore. Yang menjadi korban adalah tiga warga Lewonara.

Tidak ada perintah mundur melalui pengeras suara. Yang terjadi hanya tembakan peringatan yang belum jelas hitungannya dan selanjutnya warga ditembak di kaki.  Situasi di Pulau Adonara terus memanas. Rumah dan lumbung padi warga ikut dibakar dan dihancurkan.

Anak-anak tidak sekolah, warga di sekitarnya juga tidak dapat melakukan aktivitas secara baik hingga saat ini. Masing-masing pihak mulai dari anak-anak hingga orang tua dua belah pihak 'bergagahan' berjalan-jalan keliling daerah konflik membawa panah, tombak, bom rakitan dan sejumlah jenis senjata lainnya. Namun, tidak ada yang bisa mengamankan senjata milik warga itu, aparat keamanan sekalipun. Ironis memang, tapi itulah seni berperang di Adonara.

Kondisi yang sulit dikendalikan membuat dua jenderal ikut ke lapangan. Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) NTT, Brigjen Polisi Ricky HP Sitohang dan Komandan Korem (Danrem) 161/Wirasakti, Brigjen TNI Ferdinand Setiawan,  terjun langsung ke Adonara. Keduanya bersama kedua warga yang berkonflik melakukan negosiasi. Situasi kembali aman, walau terus siaga.

Pemerintah Propinsi NTT menurunkan tim lima melakukan negosiasi, sementara tim pemerintah kabupaten belum bisa diterima. Hingga Senin (8/10/2012) Gubernur NTT, Frans Lebu Raya , turun daerah konflik dan meminta warga kedua belah pihak untuk ledan knube pae gala (lepaskan pedang, sandarkan tombak) atau gencatan senjata untuk satu kata, damai.

Kedua belah pihak menerima dengan masing-masing tuntutan. Pihak Lewobunga menuntut bahwa lokasi itu milik mereka. Dan, jika ada pihak yang mengklaim itu milik mereka, maka jalan yang dilakukan adalah upaya hukum.

Sementara pihak Lewonara menuntut warga Riangbunga yang menghuni translok kembali ke wilayah asalnya. Dua permintaan itu diterima gubernur dan akan menjadi bahan bagi tim untuk mencari solusi.

Gubernur NTT meretas jalan bagi Pemerintah Kabupaten Flotim untuk masuk. Tim sembilan dari masing-masing pemerintahan, baik propinsi maupun kabupaten diturunkan melakukan rekonsiliasi.

Sejumlah pihak, tokoh agama, tokoh masyarakat dan para anggota dewan ikut terlibat memberikan suasana sejuk. Dan, akhirnya Bupati Flotim, Yoseph Lagadoni Herin, bersama Wakil Bupati Flotim, Valentinus Sama Tukan, dan para pejabat, Rabu (24/10/2012), turun langsung menemui warga dan diterima secara baik melalui prosesi adat dan budaya setempat.

Bupati Flotim menerima tuntutan kedua warga yang berkonflik secara baik untuk mencarikan solusinya.  Banyak pihak mengharapkan perdamaian secepatnya untuk kehidupan yang lebih baik di Pulau Adonara.

Betapa tidak, perang antarkedua desa itu cukup mengganggu perekonomian masyarakat di Pulau Adonara. Di Adonara hanya ada satu jalan yang dilalui semua warga pegunungan, begitu juga pasar, hanya satu  yakni di Waiwerang yang menjadi tempat berkumpulnya semua pelaku pasar di Pulau Adonara.

Karena itu, Gubernur NTT pun tak henti-hentinya mengajak semua warga, tokoh masyarakat dan agama, baik di Flotim maupun luar Flotim untuk turun tangan menyuarakan perdamaian.

Perdamaian adalah jalan terbaik untuk dilalui. Perdamaian tertulis secara hukum, dan melalui sumpah adat harus dibangun sebagai tawaran solusi dan sejumlah alternatif solusi lainnya.  Dengan itu, damai untuk Lewotana, Lewonara dan Lewobunga di Pulau Adonara akan menjadi kenyataan. Dan, akan terus hidup dari generasi ke generasi.  Semoga. (syarifah sifah/habis)

Editor: alfred_dama
Sumber: Pos Kupang
POSKUPANG/SYARIFAH SIFAH
BAOLOLON--Bupati dan Wakil Bupati Flotim, Yoseph Lagadoni Herin dan Valentinus Sama Tukan, saat melakukan proses baololon di rumah adat Koli Lewopula di Akoli, Adonara, Rabu (24/10/2012)

Saturday, December 14, 2013

Situasi Desa Lewonara dan Lewobunga Masih Mencekam

Situasi Desa Lewonara dan Lewobunga Masih Mencekam
Metrotvnews.com, Flores Timur: Situasi pasca-bentrok antara Desa Lewonara dan Lewobunga, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, masih mencekam. Pada Ahad (7/10), sejumlah warga dari kedua desa masih bersiaga dengan berbagai senjata tajam untuk mengantisipasi adanya serangan.

Warga yang berjaga tak memperdulikan ratusan aparat polisi dan TNI yang berusaha melerai pertikaian. Adapun kaum wanita dan anak-anak sudah mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Akibat bentrokan yang terjadi hampir sepekan ini, satu orang tewas dan enam orang lainnya luka-luka. Selain itu, 10 bangunan yang terdiri dari rumah hingga lumbung padi terbakar. Sekolah pun terpaksa diliburkan.

Bentrok antardua desa itu dipicu perebutan tanah adat seluas 15 hektare di Desa Lewobunga. Oleh pemerintah, tanah ulayat itu telah digunakan untuk membangun ratusan rumah para transmigran.

Warga Desa Lewonara mengklaim pembangunan ratusan rumah itu dilakukan di atas lahan milik mereka. Sementara warga Desa Lewobunga mengklaim tanah itu berada di wilayahnya. (Wrt3)

Ketua Adat : Warga Lewobunga Tak Ingin Berperang

Adonara, Flores Timur (Antara NTT)

08 October 2012

- Ketua adat Desa Lewobunga, Kecamatan Adonara, Kabupaten Flores Timur, ALex Benga Ama (70) mengatakan, warganya tidak ingin berperang memperebutkan tanah yang diklaim oleh Desa Lewonara sebagai milik mereka.

"Kami mencintai perdamaian, kami tidak ingin perang. Kami hanya bertahan menjaga kampung halaman kami. walaupun terus diserang dari segala arah dan melukai anak-anak kami," kata Alex Benga Ama dalam pertemuan dengan Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya, di Desa Lewobunga, Pulau Adonara, Senin.

Dalam pertemuan itu, Alex Benga Ama juga menyetujui permintaan Gubernur NTT Frans Lebu Raya untuk meletakan senjata dan menyelesaikan masalah ini melalui meja perundingan.

Hanya saja, dia berharap agar pemerintah dapat secepatnya membantu menyelesaikan masalah ini secara tuntas agar kejadian serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Alex Benga Ama juga secara khusus menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Adonara dimana saja berada, serta semua pihak yang telah berperan membantu meredam konflik di Adonara, sehingga tidak menimbulkan korban jiwa maupun harta benda lebih banyak.

Paulus Suban Doni, tokoh masyarakat lain menambahkan, masyarakat Lewobunga pada pihak yang diserang atau korban, sehingga siap mengikuti proses dialog menuju penyelesaian secara damai.

Tetapi proses dialog ini bisa berjalan, jika warganya tidak lagi diserang oleh warga dari Desa Lewonara, katanya.

"Kami ikuti saja apa yang diminta bapak gubernur, tetapi yang panting kami tidak lagi diserang. Kami siap untuk menyelesaikan masalah ini secara damai," katanya.

Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya berjanji segera membentuk tim independen untuk menyelesaikan masalah ini.

Tim ini akan bertemu dengan semua pihak, termasuk tokoh-tokoh adat dari dua desa yang sedang bertikai untuk mencari kebenaran sejarah mengenai lokasi tersebut.

Hasil kerja tim nantinya akan disodorkan kepada kedua pihak yang bertikai sebelum ditetapkan menjadi sebuah kesepakatan bersama yang mengikat kedua belah pihak.

"Proses ini memang membutuhkan waktu tetapi hal yang paling penting dan mendasar adalah hari ini sudah ada kesepakatan bersama untuk meletakan senjata, sehingga segala aktivitas bisa berjalan kembali dan tim bisa mulai bekerja dalam suasana tenang," katanya.

Sejak meletusnya perang tanding pada 2 Oktober 2012 dini hari, sudah banyak rumah penduduk serta pondokan milik warga Desa Lewobunga dibakar massa dari Desa Lewonara.

Dua orang warga Desa Lewonara dilaporkan tewas dalam pertikaian tersebut. Salah seorang di antaranya terkena anak panah, dan seorang lainnya terkena peluru aparat Brigade Mobil (Brimob) yang bertugas menjaga keamanan di lokasi sengketa tersebut.

Hingga saat ini, aparat keamanan baik TNI maupun Brimob masih berjaga-jaga di di perbatasan Desa Lewobunga dan Lewonara, dua desa yang sedang bertikai.