Saturday, September 28, 2013

Pos Kupang

Mudik Lewonara Lewobunga

Minggu, 4 Agustus 2013 22:17 WITA
Mudik Lewonara Lewobunga
DOK POS KUPANG
Maria Matildis Banda
Parodi Situasi oleh Maria Matildis Banda
LEWONARA dan Lewobunga perang lagi, bersamaan dengan mudik lebaran yang telah direncanakan jauh-jauh hari. Lebaran di Adonara itu sudah pasti, apapun yang terjadi. Tujuan sebenarnya untuk berbalas kasih, sebab natal tahun lalu, Benza yang datang ke Kupang. Keduanya sudah berjanji jalan-jalan ke Lewonara dan Lewobunga pada hari H, Idul Fitri dan melewati liburan Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu di Adonara.
                                 ***
"Sudah aman, tidak ada perang lagi. Bagaimana mungkin dua bersaudara berantem terus, ayun pedang terus. Pasti! Aku jamin tidak ada lagi pertumpahan darah. Sudah damai, kita bisa lakukan investigasi lokasi secara langsung pada liburan nanti," Benza jamin keamanan di dua wilayah yang pernah bertikai itu. 
"Siapa bilang orang sana tukang baku hantam? Itu bualan Rara dan Jaki saja. Kamu mesti percaya padaku Nona Mia. Orang Adonara itu baik, bebas dendam, dapat memaafkan. Apalagi Lewonara dan Lewobunga, sudah damai. Tragedi berdarah tahun-tahun kemarin itu sudah berakkhir dengan jabatan tangan, doa, dan maaf secara adat. Masih kurang yakin?"
                                  ***
Nyatanya perang terjadi lagi. Itulah yang membuat Benza malu bukan main. "Mau taruh dimana mukaku ini ya?" Renung Benza dengan rasa sakit yang menusuk hati.  Nona Mia pasti sakit hati. Maklumlah, Nona pernah jatuh cinta sama orang Adonara yang baik hatinya bukan main-main.  Jadi dia pasti dia kecewa berat menghadapi kenyataan pahit. Lewonara dan Lewobunga perang lagi.
Bagaimana sebenarnya management penanganan konflik dua kelompok keluarga yang sesungguhnya bersaudara itu? Jalur kearifan lokal? Jalur adat? Jalur agama? Jalur hulum, jalur pemerintah? Manakah yang belum dilaksanakan? Mengapa begitu sulit. Mengapa terjadi lagi? Apa yang mesti dilakukan?
"Ambil jalur hukum secara tegas," kata Jaki.
"Yang mulai bertengkar, tembak ditempat," sambung Rara.
"Biar ada efek takut setengah mati, efek jera, atau entah efek apa namanya. Tembak saja. Kalau biarkan terus, bisa perang lagi darah lagi. Kita harus berusaha segala cara agar Nona Mia tidak sampai ikut ke Adonara. Apalagi libur lebaran di tanah konflik. Benza enak bukan main, dapat durian runtuh, kalau Nona Mia sampai di sana."
"Kita yakinkan Nona Mia. Bagaimana kalau tembak saja semua biang keroknya, biar tutup mulut, katup tangan, dan diam di tempat. Tegakkan hukum. Itu yang paling tepat untuk selesaikan masalah."
                              ***
"Bagaimana menurutmu Nona Mia?" Tanya Rara.
"Aku tidak setuju denganmu. Darah tidak dapat diselesaikan dengan darah. Jangan selesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru," jawab Nona Mia.
"Tembak saja! Itu jalan keluar terbaik untuk selesaikan masalah ini."
"Enak saja! Pikiranmu pendek sependek senjata," protes Nona Mia dengan tegas.
"Mau pakai kearifan lokal? Yang mana? Bagaimana bentuk konkretnya? Sampai kapan? Maukah kamu kalau kasus dua wilayah keluarga ini berjalan alot  selama-lamanya? Dendam kesumat bagai api dalam sekam?"
"Kamu berdua membuat kepalaku pusing tujuh keliling," kata Nona Mia.
"Kamu yang mau pusing. Peduli amat dengan itu perang di sana. Sudah diurus tidak mau, didamaikan tidak mau, hidup rukun tidak mau. Maunya apa. Benar-benar duri dalam daging Adonara. Cabut saja itu duri, bakar, atau buang di selat. Urusan selesai bukan?" Jaki dan Rara sambung menyambung membakar emosi Nona Mia.
"Kamu tidak punya hati," tangkis Nona Mia.
"Hati katamu? He he he. Memangnya kalau pakai hati persoalan selesai?"
"Aku dan Benza akan investigasi ulang dari akar sampai ujung, dengan teliti dan tenang, lebih partisipatif, lebih komulatif. Atur strategi penanganan konflik tanpa konflik."
"Waktu cuti tidak sampai seminggu, apa yang bisa kamu lakukan? Mau bawa SPJ seminggu dan bawa data permukaan, gegabah ambil kesimpulan, gegabah pula cari jalan keluar, gegabah pula menyatakan urusan selesai? Begitu? Buktinya perang lagi bukan?"
                              ***
"Ayolah Nona Mia. Kita ke Ende saja. Di sana lebaran rame. Keluargaku yang Muslim banyak. Kita bisa makan gratis tiga kali sehari selama seminggu. Jamin enak dan menyenangkan," ajak Jaki.
"Kita ke Alor saja Nona. Keluargaku di sana jauh lebih banyak. Situasinya juga jauh lebih enak dibanding Ende. Aku jamin gratis semua, makan tidur jalan kiri-kanan, aman. Bagaimana? Uang saku pun dijamin," ajak Rara.
"Aku sudah janji bertemu Benza di Adonara. Dia akan menjemputku besok di Waiwerang. Nginap semalam di rumah orang tuanya, selanjutnya kami akan tinggal di Lewonara dan Lewobunga pulang pergi. Keluarga Benza ada di dua tetangga bersaudara itu," jawab Nona Mia.
                              ***
"Halo Benza," Nona Mia menerima telepon. "Oh ya, enam sampai sembilan bulan? Syukur puji Tuhan. Kita jadi punya waktu lebih panjang untuk temukan akar masalah sampai ke akar-akarnya ya. Syukur, terima kasih. Kamu baik sekali. Sampai ketemu ya," Nona menutup telepon dengan perasaan lega. Jaki dan Rara saling pandang dengan kesal.
"Enam bulan sampai sembilan bulan bersama Benza?" Kedua laki-laki itu ternganga.
"Salam lebaran buat keluargamu di Ende ya. Salam juga buat keluargamu di Kalabahi Alor. Sampaikan maaf lahir batin. Aku pulang ke Adonara," kata Nona Mia sambil tersenyum.
"Benza menungguku  di sana," kata Nona Mia lagi. Jaki dan Rara gigit jari. (*)
Editor: alfred_dama
Sumber: Pos Kupang

No comments:

Post a Comment