Friday, May 31, 2013

Barbarianisme di Era Modern - Pos Kupang

Barbarianisme di Era Modern - Pos Kupang
Barbarianisme di Era Modern
Pos Kupang - Senin, 12 November 2012 | 20:36 WITA
Berita Terkait
(Soal Konflik Horizontal Di NTT)

Oleh Lasarus Jehamat
Sosiolog Undana; Peneliti di Bengkel APPeK Kupang


KONFLIK horizontal yang diikuti dengan kekerasan kembali terjadi di Flores Timur. Pos Kupang dalam beberapa pekan ini gencar memberitakan konflik sosial yang terjadi. Beragam pendapat dari berbagai pihak telah menghiasi media. Mencari solusi untuk ketenangan masyarakat. Resolusi konflik pun muncul. Meskipun resolusi konflik telah dilakukan, penyakit kaum barbar seolah menjadi ciri khas masyarakat modern di Indonesia, termasuk di NTT saat ini. Tulisan ini membahas tentang tererosinya kualitas struktur sosial di daerah ini.

Tesis dasarnya adalah bahwa konflik horizontal (konflik tanah, mangan, perbatasan, perkelahian antarpemuda, antarkampung, dll) di NTT erat hubungannya dengan perubahan struktur sosial berikut delegitimasi peran elit tradisional pada seluruh sisi kehidupan sosial. Setiap mekanisme penyelesaian konflik dalam masyarakat dengan tingkat pluralitas sosial, etnis dan budaya yang sangat beragam akan sia-sia jika tidak melacak struktur sosialnya.

Struktur Sosial
Dalam studi sosiologi, struktur sosial dipahami sebagai bentuk jaringan hubungan sosial dimana interaksi terjadi dan terorganisir serta melalui mana posisi sosial individu dan subkelompok dibedakan. Dalam konteks ini, struktur sosial merupakan pola relasi sosial yang terjadi di masyarakat menurut posisi dan status sosialnya. Setiap individu memiliki posisi dan status sosial yang berbeda dan biasa digunakan untuk mempertahankan solidaritas dan integrasi sosial masyarakat. Posisi dan status sosial kemudian termanifestasi dalam berbagai bentuk insitusi sosial. Maka bisa dimengerti mengapa dalam masyarakat kita terdapat banyak institusi sosial seperti institusi keluarga, perkawinan, pendidikan,  agama, institusi adat dan lain sebagainya. Semua institusi itu digunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat.

Berhubungan dengan konflik sosial di Flores Timur, harus diakui bahwa terjadi delegitimasi otoritas elit tradisional terjadi karena elit kehilangan simbol otoritas dan sumber legitimasi baik karena tegangan internal (perebutan status sosial) juga karena determinasi faktor eksternal (perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya). Ketika elit tradisional ini berkonflik maka delegitimasi otoritas sebetulnya sedang terjadi dalam tegangan internal seperti itu. Inilah yang oleh para ahli konflik disebut sebagai tegangan internal antarelit tradisional.

Selain karena tegangan internal, berbagai perubahan sosial dan budaya sebagai bias dari masyarakat industri kapitalis dan besarnya determinasi negara ke desa menjadi sebab eksternal berubah dan runtuhnya struktur sosial masyarakat. Manakala struktur sosialnya berubah tanpa diikuti dengan penguatan kembali nilai-nilai lokal sebagai basis penguatan struktur sosial maka berbagai konflik horizontal lain dengan segera mengikutinya.

Delegitimasi otoritas kemudian diperparah oleh ketiadaan mekanisme penyangga tatanan sosial budaya seperti ritual adat. Padahal menurut Turner (1977), keberadaan ritual bagi masyarakat sangat diperlukan. Berbagai ritual adat merupakan media yang dipakai oleh pihak yang memiliki otoritas untuk mempertahankan otoritas tradisionalnya. Sayang, banyak ritual adat di masyarakat Flores Timur dan juga di daerah lain di wilayah ini nyaris porak poranda dan tererosi oleh tekanan budaya luar sehingga generasi muda enggan mengikuti ragam ritualitas budaya lokal. Akibatnya, kita kehilangan pegangan dalam bersikap dan bertindak.

Tsunami Sosial
Pertemuan dengan budaya luar, determinasi kapital di desa, masuknya negara, berbagai tensi sosial dan tensi politik dalam era otonomi daerah merupakan sebab pokok terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat. Sebab-sebab yang diidentifikasi di atas nyaris seperti tsunami sosial yang menghantui masyarakat NTT dan siap meluluhlantahkan kehidupan sosial budaya masyarakat kita. Masuknya budaya luar dalam langgam modernisasi desa misalnya menyebabkan masyarakat meninggalkan budaya dan adatnya sendiri lalu menerima budaya asing. Determinasi budaya asing pada gilirannya berdampak pada longgarnya integrasi dan kolektifitas sosial.

Masuknya negara dalam wujud homogenisasi desa, menyebabkan elit tradisional kehilangan legitimasi dan otoritas. Harus diakui bahwa, masuknya negara diikuti dengan pengambilalihan hak dan wewenang elit tradisional pada gilirannya menimbulkan guncangan otoritas elit tradisional sebab kaum elit ini kehilangan basis legitimasinya.

Dengan demikian, konflik tanah, konflik antarpemuda, konflik antarkampung dan berbagai bentuk konflik horizontal lain misalnya, tidak hanya dibaca dalam terang perebutan tanah semata atau karena perebutan lahan bisnis atau ekonomi saja. Konflik horizontal harus dimengerti dalam konteks perubahan struktur sosial  pada skala yang lebih luas; bahwa secara umum telah terjadi perubahan pola-pola hubungan dan jaringan sosial pada masyarakat kita. Jika kita melihat konflik horizontal antarkampung hanya dihubungkan dengan tindakan balas dendam melulu tanpa melihat bahwa telah terjadi perubahan struktur sosial umumnya maka kita sebenarnya sedang berteriak karena melihat asap api yang mengepul tanpa berupaya mencaritahu sumber dan sebab munculnya asap itu. Konflik horizontal yang terjadi di Flores Timur dan juga di beberapa wilayah di NTT, hemat saya harus diperiksa dalam konteks perubahan struktur sosial ini.

Jika itu yang terjadi maka proses penyelesaian konflik harus dimulai dengan kembali melacak struktur sosial masyarakatnya terlebih dahulu. Ini penting sebab dengan melihat struktur sosial kita bisa mengetahui pola relasi sosial pihak-pihak yang berkonflik serta memahami substansi konflik dengan lebih bijak. Pola relasi sosial inilah yang kemudian menjadi titik pijak kita dalam membuat peta konflik, merumuskan mekanisme penyelesaian konflik, memutuskan siapa yang bersalah dan siapa yang benar serta menentukan mekanisme pemberian sanksi sosial. Jika kita tidak memeriksa struktur sosial dan hanya sibuk menangani fenomena sosial yang tampak-kasat mata saja maka bukan tidak mungkin akan terjadi konflik sosial lanjutan pada masyarakat kita. *

Editor : alfred_dama
Sumber : Pos Kupang

No comments:

Post a Comment